Dutch Disease dan Alasan Mengapa Masyarakat Indonesia tidak Produktif
Oleh: Dani Gautama

Dutch Disease adalah istilah yang disematkan kepada
negara-negara dengan sumber daya alam melimpah, tapi warga negaranya mayoritas
hidup di garis kemiskinan. Sumber daya alam yang melimpah ini termasuk hasil
bumi yang kaya dan alam yang sangat bersahabat sebagaimana klaim Indonesia saat
ini sebagai negara dengan SDA yang melimpah.
Dutch Disesase tidak hanya mejangkit Indonesia, tetapi
negara dengan SDA melimpah lainnya seperti Venezuela yang memiliki pasokan
cadangan minyak lebih besar dari Arab Saudi, tetapi kondisi ekonominya bagai
langit dan bumi.
Negara yang terjangkit Dutch Disease kerap dilanda
kerusuhan, politik yang tidak stabil, tingkat pendidikan yang rendah, perilaku
koruptif yang dilakukan oleh pemerintahnya dan perilaku konsumtif oleh warga
negaranya. Singkatnya, Dutch Disesase adalah kondisi saat sumber daya alam yang
melimpah malah menghambat pembangunan dari berbagai sektor.
Baca Lainnya :
- Konsep Ketahanan Pangan Ala Kang Eman Kurdiman 0
- Pengabdian Tanpa Batas, Bripka Anditya Gugur Selamatkan Wisatawan di Pantai Pangandaran0
- Peringati Hari Amal Bakti ( HAB ) ke 79 Sebagai Inspektur Upacara Pj Bupati Majalengka 0
- Giat Jumsih Rutin dilaksanakan Pemdes Pajaten Kecamatan Cibuaya0
- Politeknik Negeri Indramayu Adakan Expo Prodi Perancangan Manufaktur 0
Penyebab utama sebuah negara mengalami Dutch Disease adalah
paradigma dari warga negaranya yang menilai kalau mereka tidak perlu usaha
keras untuk hidup sejahtera, karena alam mereka telah memenuhi apa yang mereka
butuhkan. Sehingga mereka tidak memiliki motivasi untuk meningkatkan
kompetensi. Mirip seperti burung yang awalnya bisa terbang, tetapi kemudian
berevolusi menjadi tidak bisa terbang karena sumber daya makanan yang melimpah,
yang tidak mengharuskan mereka untuk terbang.
Apalagi negara yang mengalami Dutch Disease biasanya adalah
negara bekas jajahan, dan ketika mereka merdeka, arus Nasionalisme yang
berlebihan menginginkan mereka untuk menguasai seluruh sumber daya alam walau
kompetensi mereka belum sampai ke tahap tersebut. Sebagai contoh adalah negara
Arab Saudi yang sadar mereka tidak memiliki kompetensi di bidang perminyakan,
sehingga mereka menyuruh insinyur-insinyur Amerika untuk mengisi jabatan teknis
dan strategis di perusahaan BUMN-nya.
Bayangkan jika hal itu terjadi di Indoensia, saat posisi
Dirut Pertamina diisi oleh Insinyur Jerman, maka akan banyak yang berbicara
bahwa kita kembali dijajah. Padahal, bisa jadi jika posisi Dirut diisi oleh
yang kompeten, buka politikus, Pertamina
tidak akan terus-terusan mengalami kerugian.
Kondisi demikian mirip seperti kondisi di Venezuela dan
negara-negara korup lainnya yang kerap menyuarakan Nasionalisme, bahwa lebih
baik miskin, tapi dipimpin oleh sesama, ketimbang makmur hasil pimpinan orang
asing. Soal Venezuela dan Indonesia memang memiliki banyak kemiripan, khususnya
di bidang pemerintah yang korup dan masyarakat yang konsumtif.
Masyarakat enggan untuk produktif dan inovatif karena merasa
mereka tidak perlu kerja keras untuk kaya. Mereka masih berharap pemerintah
memberikan bantuan dari A sampai Z yang sumbernya dari alam yang melimpah.
Akibatnya, kita mengalami miskin kemajuan, sehingga penghasilan terbesar negeri
ini hanya menjual hasil alam dalam bentuk mentah, seperti menjual batu bara
untuk bahan baku pabrik-pabrik di luar negeri yang kemudian produknya kita beli
dalam bentuk jadi. Kita jual murah kepada mereka, sementara mereka menjual
mahal kepada kita.
Harapan dibantu dari A sampai Z oleh pemerintah membuat
masyarakat Indonesia yang konsumtif dan tidak produktif ini kerap terkecoh
dengan janji politikus korup tentang pemberantasan kemiskinan. Mereka akan
selalu memilih politisi yang bisa memberikan mereka roti (bansos) dan sirkus
(hiburan).
Jika mindset seperti ini tidak diubah, maka sampai negara ini bubar pun, kutukan negara kaya atau Dutch Disease akan terus menyertai lajunya negeri yang besar dan kaya ini.
Video Terkait:
