Gerakan Turun ke Sekolah Memungkinkan Transformasi Budaya Pendidikan yang Memanusiakan
-

JAKARTA,
anmnews.id-
Muhammad Nur
Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), menyatakan bahwa tujuan dari
Gerakan Turun ke Sekolah (GTS) adalah untuk mengubah budaya pendidikan agar
lebih manusiawi dan memberikan ruang untuk kesetaraan.
GTS memberi
anak muda kesempatan untuk pergi ke sekolah dan berkontribusi pada perubahan
pendidikan di Indonesia. Muhammad Nur Rizal menyatakan dalam keterangannya di
Jakarta, Senin bahwa GTS telah dilaksanakan dalam dua angkatan: satu pada
Maret-April 2024 dan dua pada Juli 2024.
Baca Lainnya :
- Peningkatan Kreatiivitas dalam Penyampaian Informasi dapat Apresiasi Pj. Gubernur0
- Calon Paskibra Kabupaten Beltim Mulai Masuki Karantina0
- Gus Yahya Mengatakan Jokowi Menunjukkan Sifat Pemimpin yang Baik0
- Bupati Rohil Terima Penghargaan Penanganan Stunting dan Kemiskinan Ekstrem0
- Cek Kesiapan Jajaran, Bawaslu Beltim Gelar Rakor Sehari0
Dia
mengatakan bahwa GTS berbeda dari inisiatif sebelumnya karena fokusnya pada
memaksimalkan potensi anak muda. Dirancang oleh GSM, GTS dimaksudkan untuk
menyelesaikan tiga masalah kesenjangan yang dihadapi anak-anak di zaman
sekarang: kesenjangan sosial, kesenjangan spiritual, dan kesenjangan ekologi.
Ketika ada
perbedaan yang sering muncul antara dia dan orang lain, itu disebut kesetaraan
sosial. Contoh kesenjangannya adalah ketika di rentang umur yang sama ada orang
yang tampaknya sangat beruntung dengan kekayaan material, tetapi juga ada orang
yang dianggap "kurang beruntung" dan harus berjuang keras untuk
mencapai hasil yang sama. Dia menjelaskan, "Dampaknya adalah polarisasi,
bullying, kekerasan, dan keterbelahan sosial yang parah di masyarakat
kita."
Rizal juga
menekankan bahwa anak-anak muda saat ini mengalami kesenjangan spiritual, yang
merupakan perbedaan antara diri mereka saat ini dan diri mereka di masa depan.
Kehilangan jati diri menyebabkan anak-anak kehilangan keyakinan diri dan
kemampuan untuk mengendalikan diri.
Ini
menghasilkan anak muda yang lebih stres, kehilangan energi, dan tingkat bunuh
diri yang lebih tinggi.
Menurutnya,
salah satu contohnya adalah seorang guru SMK muda yang melakukan bunuh diri
setelah membuat pesan umum kepada masyarakat agar tidak mengalami masalah hidup
seperti dirinya.
Rizal
menambahkan bahwa jika pendidikan tidak memberi pendidikan yang kritis yang
mengajarkan siswa untuk berpikir dengan cara yang memungkinkan mereka untuk
memilah, memaknai, dan merefleksikan, masalah deindividuasi di antara batas
negara-negara dunia yang semakin tipis dapat menjadi lebih parah.
Kemudian,
berkaitan dengan kesenjangan ekologi, menyoal keberlanjutan alam untuk tetap
terjaga dan dirawat. Dia berharap generasi muda dapat menjadi pemimpin yang
baik untuk masa depan, bukan hanya untuk mereka sendiri.
"Mereka
ditanamkan untuk memiliki konsistensi dan komitmen yang kuat untuk terus
berpartisipasi dalam aktivitas sosial dengan harapan menjalar pada upaya
membenahi permasalahan lingkungan," tambahnya.
(Ade M)
Video Terkait:
